Sejarah Suku Dayak, Adat Istiadat Dayak, Agama Suku Dayak Indonesia
Seni Budaya - Sejarah Suku Dayak, Adat Istiadat Dayak, Agama Suku Dayak Indonesia

Ada
yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun Klemantan alias
Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayanyaitu Dayak Kayan, Kenyah dan
Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan. Namun
secara ilmiah, para linguis melihat 5 kelompok bahasa yang dituturkan di
pulau Kalimantan dan masing-masing memiliki kerabat di luar pulau
Kalimantan:
"Barito Raya (33 bahasa, termasuk 11 bahasa dari kelompok bahasa Madagaskar, dan Sama-Bajau),
"Dayak Darat" (13 bahasa)
"Borneo Utara" (99 bahasa), termasuk bahasa Yakan di Filipina.
"Sulawesi
Selatan" dituturkan 3 suku Dayak di pedalaman Kalbar: Dayak Taman,
Dayak Embaloh, Dayak Kalis disebut rumpun Dayak Banuaka.
"Melayik"
dituturkan 3 suku Dayak: Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais yang
digolongkan bahasa Melayu), Dayak Iban dan Dayak Kendayan (Kanayatn).
Tidak termasuk Banjar, Kutai, Berau, Kedayan (Brunei), Senganan, Sambas
yang dianggap berbudaya Melayu. Sekarang beberapa suku berbudaya Melayu
yang sekarang telah bergabung dalam suku Dayak adalah Tidung, Bulungan
(keduanya rumpun Borneo Utara) dan Paser (rumpun Barito Raya).
Daftar isi
1 Etimologi
2 Asal mula
3 Pembagian sub-sub etnis
4 Dayak pada masa kini
4.1 Tradisi Penguburan
4.1.1 Penguburan primer
4.1.2 Penguburan sekunder
4.1.3 Prosesi penguburan sekunder
5 Agama
6 Konflik
6.1 Keterlibatan
Etimologi
Masyarakat Dayak Barito beragama Islam yang dikenali sebagai suku Bakumpai di sungai Baritotempo dulu.

Istilah
untuk suku penduduk asli dekat Sambas dan Pontianak adalah Daya
(Kanayatn: orang daya= orang darat), sedangkan di Banjarmasin disebut
Biaju (bi= dari; aju= hulu). Jadi semula istilah Daya ditujukan untuk
penduduk asli Kalimantan Barat yakni rumpun Bidayuh yang selanjutnya
dinamakan Dayak Darat yang dibedakan dengan Dayak Laut (rumpun Iban). Di
Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan dalam perjanjian Sultan
Banjar dengan Hindia Belanda tahun 1826, untuk menggantikan istilah
Biaju Besar (daerah sungai Kahayan) dan Biaju Kecil (daerah sungai
Kapuas Murung) yang masing-masing diganti menjadi Dayak Besar dan Dayak
Kecil. Sejak itu istilah Dayak juga ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot
Danum atau rumpun Barito. Selanjutnya istilah “Dayak” dipakai meluas
yang secara kolektif merujuk kepada suku-suku penduduk asli setempat
yang berbeda-beda bahasanya, khususnya non-Muslim atau non-Melayu. Pada
akhir abad ke-19 (pasca Perdamaian Tumbang Anoi) istilah Dayak dipakai
dalam konteks kependudukan penguasa kolonial yang mengambil alih
kedaulatan suku-suku yang tinggal di daerah-daerah pedalaman
Kalimantan. Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek
Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, Dr. August
Kaderland, seorang ilmuwan Belanda, adalah orang yang pertama kali
mempergunakan istilah Dayak dalam pengertian di atas pada tahun 1895.
Arti
dari kata ‘Dayak’ itu sendiri masih bisa diperdebatkan. Commans (1987),
misalnya, menulis bahwa menurut sebagian pengarang, ‘Dayak’ berarti
manusia, sementara pengarang lainnya menyatakan bahwa kata itu berarti
pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang paling tepat adalah orang
yang tinggal di hulu sungai. Dengan nama serupa, Lahajir et al.
melaporkan bahwa orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak dengan arti
manusia, sementara orang-orang Tunjung dan Benuaq mengartikannya sebagai
hulu sungai. Mereka juga menyatakan bahwa sebagian orang mengklaim
bahwa istilah Dayak menunjuk pada karakteristik personal tertentu yang
diakui oleh orang-orang Kalimantan, yaitu kuat, gagah, berani dan
ulet. Lahajir et al. mencatat bahwa setidaknya ada empat istilah untuk
penuduk asli Kalimantan dalam literatur, yaitu Daya', Dyak,Daya, dan
Dayak. Penduduk asli itu sendiri pada umumnya tidak mengenal
istilah-istilah ini, akan tetapi orang-orang di luar lingkup merekalah
yang menyebut mereka sebagai ‘Dayak’.
Asal mula
Secara
umum kebanyakan penduduk kepulauan Nusantara adalah penutur bahasa
Austronesia. Saat ini teori dominan adalah yang dikemukakan linguis
seperti Peter Bellwood dan Blust, yaitu bahwa tempat asal bahasa
Austronesia adalah Taiwan. Sekitar 4 000 tahun lalu, sekelompok orang
Austronesia mulai bermigrasi ke Filipina. Kira-kira 500 tahun kemudian,
ada kelompok yang mulai bermigrasi ke selatan menuju kepulauan Indonesia
sekarang, dan ke timur menuju Pasifik.
Namun
orang Austronesia ini bukan penghuni pertama pulau Borneo. Antara 60
000 dan 70 000 tahun lalu, waktu permukaan laut 120 atau 150 meter lebih
rendah dari sekarang dan kepulauan Indonesia berupa daratan (para
geolog menyebut daratan ini "Sunda"), manusia sempat bermigrasi dari
benua Asia menuju ke selatan dan sempat mencapai benua Australia yang
saat itu tidak terlalu jauh dari daratan Asia.
Dari
pegunungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan.
Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar
menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir
pulau Kalimantan. Tetek Tahtum menceritakan perpindahan suku Dayak dari
daerah hulu menuju daerah hilir sungai.
Di
daerah selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan.
Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak
Jawa, yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh
Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389. Kejadian
tersebut mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan terpencar,
sebagian masuk daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus
besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari
kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun
1520).
Sebagian
besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang memeluk
Islam tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut
dirinya sebagai atau orang Banjar dan Suku Kutai. Sedangkan orang Dayak
yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman,
bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi,Amuntai, Margasari, Watang Amandit,
Labuan Amas dan Watang Balangan. Sebagian lagi terus terdesak masuk
rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan
dan sebagian Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar Hindu yang
terkenal adalah Lambung Mangkurat menurut orang Dayak adalah seorang
Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum). Di Kalimantan Timur, orang Suku
Tonyoy-Benuaq yang memeluk Agama Islam menyebut dirinya sebagai Suku
Kutai.Tidak hanya dari Nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke
Kalimantan. Bangsa Tionghoa tercatat mulai datang ke Kalimantan pada
masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf hanzi
disebutkan bahwa kota yang pertama dikunjungi adalah Banjarmasin.
Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I dan Sultan Mustain
Billah. Hikayat Banjar memberitakan kunjungan tetapi tidak menetap oleh
pedagang jung bangsa Tionghoa dan Eropa (disebut Walanda) di Kalimantan
Selatan telah terjadi pada masa Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV).
Pedagang Tionghoa mulai menetap di kota Banjarmasin pada suatu tempat
dekat pantai pada tahun 1736.
Kedatangan
bangsa Tionghoa di selatan Kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan
penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya
berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak
langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih
disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci)
dan peralatan keramik.
Sejak
awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV
Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk
Nusantara) di bawah pimpinan Cheng Ho, dan kembali ke Tiongkok pada
tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka,
Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang
Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa
tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang
pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci.
Pembagian sub-sub etnis
Persebaran suku-suku Dayak di Pulau Kalimantan.

Kelompok
Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405
sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau
Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk
kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya,
maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku
Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap
pemukiman mereka.
Etnis
Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam
Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6
suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan.
Dayak pada masa kini
Tradisi suku Dayak Kanayatn.

Prof.
Lambut dari Universitas Lambung Mangkurat, (orang Dayak Ngaju) menolak
anggapan Dayak berasal dari satu suku asal, tetapi hanya sebutan
kolektif dari berbagai unsur etnik, menurutnya secara "rasial", manusia
Dayak dapat dikelompokkan menjadi :
Dayak Mongoloid,
Malayunoid,
Autrolo-Melanosoid,
Dayak Heteronoid.
Namun di dunia ilmiah internasional, istilah seperti "ras Australoid", "ras Mongoloid dan pada umumnya "ras" tidak lagi dianggap berarti untuk membuat klasifikasi manusia karena kompleksnya faktor yang membuat adanya kelompok manusia.
Tradisi Penguburan
Foto
tersebut merupakan foto kuburan Dayak Benuaqdi Kutai. Peti yang
dimaksud adalahSelokng (ditempatkan di Garai). Ini merupakan penguburan
primer - tempat mayat melalui Upacara/Ritual Kenyauw. Sementara di
sebelahnya (terlihat sepotong) merupakan Tempelaq yang merupakan tempat
tulang si meninggal melalui Upacara/Ritual Kwangkay.
Tradisi
penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur
tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah
panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat
tiga budaya penguburan di Kalimantan :
penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
penguburan di dalam peti batu (dolmen)
penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Menurut tradisi Dayak Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan dibedakan :
wadah (peti) mayat--> bukan peti mati : lungun, selokng dan kotak
wadah tulang-beluang : tempelaaq (bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci.
berdasarkan tempat peletakan wadah (kuburan) Suku Dayak Benuaq :
lubekng (tempat lungun)
garai (tempat lungun, selokng)
gur (lungun)
tempelaaq dan kererekng
Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
penguburan tahap pertama (primer)
penguburan tahap kedua (sekunder).
Penguburan primer
Parepm Api (Dayak Benuaq)
Kenyauw (Dayak Benuaq)
Penguburan sekunder
Penguburan
sekunder tidak lagi dilakukan di gua. Di hulu Sungai Bahau dan
cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kalimantan Timur,
banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang merupakan peninggalan
megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan menggunakan peti
mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil
dengan posisi ke arah matahari terbit.
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :
dikubur dalam tanah
diletakkan di pohon besar
dikremasi dalam upacara tiwah.
Prosesi penguburan sekunder
Tiwah
adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai
simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang
dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di
dalam tanah.
Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
Marabia
Mambatur (Dayak Maanyan)
Kwangkai/Wara (Dayak Benuaq)
Agama
Bagian ini membutuhkan pengembangandengan: sumber terpercaya
Masyarakat
Dayak menganut agama leluhur yang diberi nama oleh Tjilik Riwut sebagai
agama Kaharingan. Sekarang, agama ini kian lama kian ditinggalkan.
Sejak abad pertama Masehi, agama Hindu mulai memasuki Kalimantan dengan
ditemukannya peninggalan agama Hindu di Amuntai, Kalimantan Selatan,
selanjutnya berdirilah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Semenjak abad
ke-4 masyarakat Kalimantan memasuki era sejarah yang ditandai dengan
ditemukannya prasasti peninggalan dari Kerajaan Kutai yang beragama
Hindu di Kalimantan Timur. Penemuan arca-arca Buddha yang merupakan
peninggalan Kerajaan Brunei kuno, Kerajaan Sribangun (di Kota Bangun,
Kutai Kartanegara) danKerajaan Wijayapura. Hal ini menunjukkan munculnya
pengaruh hukum agama Hindu-Buddha dan asimilasi dengan budaya India
yang menandai kemunculan masyarakat multietnis yang pertama kali di
Kalimantan. Dengan menyebarnya agama Islam sejak abad ke-7 mencapai
puncaknya di awal abad ke-16, masyarakat kerajaan-kerajaan Hindu menjadi
pemeluk-pemeluk Islam yang menandai kepunahan agama Hindu dan Buddha di
Kalimantan. Sejak itu mulai muncul hukum adat Melayu/Banjar yang
dipengaruhi oleh sebagian hukum agama Islam (seperti budaya makanan,
budaya berpakaian, budaya bersuci), namun umumnya masyarakat Dayak di
pedalaman tetap memegang teguh pada hukum adat/kepercayaan Kaharingan.
Sebagian besar masyarakat Dayak yang sebelumnya beragama Kaharingan kini
memilih Kekristenan, namun kurang dari 10% yang masih mempertahankan
agama Kaharingan. Agama Kaharingan sendiri telah digabungkan ke dalam
kelompok agama Hindu (baca: Hindu Bali) sehingga mendapat sebutan agama
Hindu Kaharingan. Namun ada pula sebagian kecil masyarakat Dayak kini
mengkonversi agamanya dari agama Kaharingan menjadi agama Buddha (Buddha
versi Tionghoa), yang pada mulanya muncul karena adanya perkawinan
antarsuku dengan etnis Tionghoa yang beragama Buddha, kemudian semakin
meluas disebarkan oleh para Biksu di kalangan masyarakat Dayak misalnya
terdapat pada masyarakat Dayak yang tinggal di kecamatan Halong di
Kalimantan Selatan. Di Kalimantan Barat, agama Kristen diklaim sebagai
agama orang Dayak (sehingga Dayak Muslim Kalbar terpaksa membentuk Dewan
Adat Dayak Muslim tersendiri), tetapi hal ini tidak berlaku di propinsi
lainnya sebab orang Dayak juga banyak yang memeluk agama-agama selain
Kristen misalnya ada orang Dayak yang sebelumnya beragama Kaharingan
kemudian masuk Islam namun tetap menyebut dirinya sebagai suku Dayak.
Agama sejati orang Dayak adalah Kaharingan. Di wilayah
perkampungan-perkampungan Dayak yang masih beragama Kaharingan berlaku
hukum adat Dayak, namun tidak semua daerah di Kalimantan tunduk kepada
hukum adat Dayak, kebanyakan kota-kota di pesisir Kalimantan dan
pusat-pusat kerajaan Islam, masyarakatnya tunduk kepada hukum adat
Melayu/Banjar seperti suku-suku Melayu-Senganan, Kedayan, Banjar,
Bakumpai, Kutai, Paser, Berau, Tidung, dan Bulungan. Bahkan di wilayah
perkampungan-perkampungan Dayak yang telah sangat lama berada dalam
pengaruh agama Kristen yang kuat kemungkinan tidak berlaku hukum adat
Dayak/Kaharingan. Di masa kolonial, orang-orang bumiputera Kristen dan
orang Dayak Kristen di perkotaan disamakan kedudukannya dengan orang
Eropa dan tunduk kepada hukum golongan Eropa. Belakangan penyebaran
agama Nasrani mampu menjangkau daerah-daerah Dayak terletak sangat jauh
di pedalaman sehingga agama Nasrani dianut oleh hampir semua penduduk
pedalaman dan diklaim sebagai agama orang Dayak.
Jika
kita melihat sejarah pulau Borneo dari awal. Orang-orang dari
Sriwijaya, orang Melayu yang mula-mula migrasi ke Kalimantan. Etnis
Tionghoa Hui Muslim Hanafi menetap di Sambas sejak tahun 1407, karena
pada masa Dinasti Ming, bandar Sambas menjadi pelabuhan transit pada
jalur perjalanan dari Champa ke Maynila, Kiu kieng (Palembang) maupun ke
Majapahit. Banyak penjabat Dinasti Ming adalah orang Hui Muslim yang
memiliki pengetahuan bahasa-bahasa asing misalnya bahasa Arab. Laporan
pedagang-pedagang Tionghoa pada masa Dinasti Ming yang mengunjungi
Banjarmasin pada awal abad ke-16 mereka sangat khawatir mengenai aksi
pemotongan kepala yang dilakukan orang-orang Biaju di saat para pedagang
sedang tertidur di atas kapal. Agamawan Nasrani dan penjelajah Eropa
yang tidak menetap telah datang di Kalimantan pada abad ke-14 dan
semakin menonjol di awal abad ke-17 dengan kedatangan para pedagang
Eropa. Upaya-upaya penyebaran agama Nasrani selalu mengalami kegagalan,
karena pada dasarnya pada masa itu masyarakat Dayak memegang teguh
kepercayaan leluhur (Kaharingan) dan curiga kepada orang asing,
seringkali orang-orang asing terbunuh. Penduduk pesisir juga sangat
sensitif terhadap orang asing karena takut terhadap serangan bajak laut
dan kerajaan asing dari luar pulau yang hendak menjajah mereka.
Penghancuran keraton Banjar di Kuin tahun 1612 oleh VOC Belanda dan
serangan Mataram atas Sukadana tahun 1622 dan potensi serangan Makassar
sangat mempengaruhi kerajaan-kerajaan di Kalimantan. Sekitar tahun 1787,
Belanda memperoleh sebagian besar Kalimantan dari Kesultanan Banjar dan
Banten. Sekitar tahun 1835 barulah misionaris Kristen mulai
beraktifitas secara leluasa di wilayah-wilayah pemerintahan Hindia
Belanda yang berdekatan dengan negara Kesultanan Banjar. Pada tanggal 26
Juni 1835, Barnstein,
penginjil pertama Kalimantan tiba di Banjarmasin dan mulai menyebarkan
agama Kristen. Pemerintah lokal Hindia Belanda malahan merintangi
upaya-upaya misionaris.
Konflik
Keterlibatan
Dayak
(istilah kolektif untuk masyarakat asli Kalimantan) telah mengalami
peningkatan dalam konflik antar etnis. Di awal 1997 dan kemudian pada
tahun 1999, bentrokan-bentrokan brutal terjadi antara orang-orang Dayak
dan Madura di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Puncak dari
konflik ini terjadi di Sampit pada tahun 2001. Konflik-konflik ini pun
kemudian menjadi topik pembicaraan di koran-koran di Indonesia.
Sepanjang konflik tahun 1997, sejumlah besar penduduk (baik Dayak maupun
Madura) tewas. Muncul berbagai perkiraan resmi tentang jumlah korban
tewas, mulai dari 300 hingga 4.000 orang menurut sumber-sumber
independen. Pada tahun 1999, orang-orang Dayak, bersama dengan
kelompok-kelompok Melayu dan Cina memerangi para pendatang Madura; 114
orang tewas. Menurut seorang tokoh masyarakat Dayak, konflik yang
terjadi belakangan itu pada awalnya bukan antara orang-orang Dayak dan
Madura, melainkan antara orang-orang Melayu dan Madura. Kendati terdapat
fakta bahwa hanya ada beberapa orang Dayak saja yang terlibat, tetapi
media massa membesar-besarkan keterlibatan Dayak. Sebagian karena
orang-orang Melayu yang terlibat menggunakan simbol-simbol budaya Dayak
saat kerusuhan terjadi.
Sumber - Wikipedia
0 komentar:
Posting Komentar